Berawal dari kelas yang
bangkunya berantakan dan kotor lantaran petugas piket lalai, memicu kemarahan
saya. Guru mana yang tidak marah jika kegiatan yang sudah menjadi rutinitas tidak
dilaksanakan siswanya. Membersihkan kelas yang seharusnya dilaksanakan 5 menit sebelum pulang oleh petugas
piket urung dilakukan, lantaran guru tidak ada di tempat. Posisi saya saat itu masih
di ruang guru, usai melaksanakan shalat dan makan siang. Hujan menyebabkan tidak kembalinya saya ke kelas. Di ruang F4 yang Jarak yang relative jauh dari ruang guru, jika
tidak memakai payung pastilah saya basah kuyub. Sehingga untuk memantau siswa
dalam kelas yang kebetulan tidak ada cctv nya itu, saya chat sekretaris kelas
untuk mengingatkan temannya yang bertugas piket pada hari itu(jum’at). Saya
memang tidak menghubungi ketua kelas karena kerap saya wa ketua kelas tidak
pernah respon.
Hujan reda bertepatan dengan waktu
pulang. Aku berjalan bermaksud mau menemui anak anak. Namun apa yang terjadi
kelas sudah kosong. Sontak saya call sekretaris posisi dimana. Ternyata dia
masih diparkiran. Dia saya suruh menghubungi teman-temannya, utamanya petugas
piket untuk membersikan kelas. Namun sekretaris hanya menjawab teman temannya
sudah tidak ada. Rupanaya sudah pulang semuanya. Sekretaris saya suruh balik ke
kelas membantu saya untuk membersihkan kelas dan membantu saya untuk menata
bangku yag berserakan. Kipas anginpun menyala. Sebagai rasa tanggung jawab atas ketidak hadiran saya pada dua jam terakhir.
Saya rela melakukan ini.
Rasa
kecewa pada diri sendiri, karena tidak mampu menanamkan rasa tanggung jawab
pada siswa saya. Untuk menepiskan rasa itu, saya menginformasikan kejadian ini
kepada salah seorang guru tatib, tentang kejadian yang telah dilakukan siswa kelas XII Teknik Pengelasan C (TPC). Selang
satu hari, teman tatibku memberi punishmen
pada mereka untuk membersihkan area sekitar lapangan sekolah. Karena saya tidak yakin anak-anak sudah menyadari kesalahannya akhirnya saya bekerja
sama dengan waka sarana dan prasarana. Untuk kerja bhakti membersihkan lingkungan sekolah.
Mulai halaman depan sekolah hingga halaman belakang. Sebanyak 34 siswa, lumayan
banyak untuk membantu dalam membersihkan lingkungan sekolah. Kebetulan sekolah
akan dikunjungi tamu selasa mendatang.
Jadwal
kerja bhakti dilaksanakan hari jumat pas jam pelajaran saya. Anak anak saya kumpulkan
di lapangan olah raga. Untuk chek kehadiran, mereka saya panggil satu per satu. Kurang lebih
5 menit berlalu. Kegiatan diambil alih oleh waka Sarpras. Anak anak kaget dan bertanya tanya ada
apa ini, seharusnya pelajaran PKK kok harus kerja bhakti. Akhirnya saya jelaskan sebabnya mengapa harus kerja bhakti
lagi. Merekapun menolak. Dengan alasan sudah membersihkan lapangan hari senin yang
lalu bersama Pembina Tatib. Saya tetap bersikeras untuk melakukan kerja bhakti lagi
dengan tujuan sebagai wujud rasa tanggung jawab karena telah lalai membersihkan kelas.
Waktu
terus berlalu. Jarum jam menunjukkan pukul 9.00. Tanda waktu istirahat
dikumandangkan. Anak anak yang sudah istirahat sejak pukul 8.35. lantas berhambur
menuju kantin. Aku perhatikan terus sepak terjang mereka. Saya mendengar suara
yang menyatakan kebaratan karena
dipekerjakan bersih bersih dua kali.
Kecewa mereka meledak pada saat masuk kelas di
ruang F4. Ketika saya menjelaskan tentang tanggung jawab, mereka terus nyerocos
dengan berbagai versi bahasa urakan. Suasana ricuh. Rasa kecewaku semakin
menjadi. Saya membentak mereka. Namun mereka semakin geram. Mereka protes mengapa
sudah dipekerjakan hari senin, di hari jumat diulangi lagi, saya jelaskan bahwa
kerja bhakti ini semata mata untuk menyadarkan agar mereka lebih tanggung jawab
pada tugasnya yang dilalaikan. Seorang siswa nyeletuk lagi mengapa yang dihukum bukan hanya yang
piket saja, saya jawab kebersihan kelas tanggung jawab satu kelas. “Tidak adil
bu” jika melibatkan semua siswa, salah seorang siswa angkat bicara dengan nada
keras. Saya jelaskan bahwa tanggung jawab kebersihan itu satu kelas, jika petugas
piket lupa yang lain seharusnya mengingatkan. Saya juga sudah mengingatkan via HP sekretaris kelas. Mereka jawab, “peringatan
di WA tidak disampaikan pada kami, Bu”
Saya
jawab lagi. “Seharusnya kalian tidak
hanya bergantung pada WA yang sudah saya share ke sekretarsis, kalau memang kalian
punya rasa tanggung jawab, tanpa harus diingatkan di WA pun kamu seharusnya
sudah pahan akan kewajiban apa yang harus kamu lakukan sebelum pulang. Ya tidak bisa,
tidak adil. Kericuhan dipertajam dengan aksi menuding-nuding dan mengata ngatain
sekertaris kelas yang tidak menyampaikan WA saya. Kericuhan terus berlanjut
dengan segala omongan yang sengak. Sayapun mengambil napas panjang dan berfikir,
mengajar lebih dari dari 25 tahun saya belum pernah menghadapi kelakuan siswa
yang seperti ini.
Tidak
ada gunanya saya menjelaskan kepada mereka dalam keadaan emosi. Berbicara dengan
anak yang tidak paham arti tanggug jawab seperti manggantang angin. Mereka akan
tahu manakala sudah masuk di dunia kerja. Saya menenangkan pikiran sejenak untuk persiapan menyampaikan
materi berikutnya.
Nuansa
emosi masih tampak pada diri siswa, terlihat mereka tidur saat saya menjelaskan
materi. Yang lebih menanatang mereka berani tidur di atas bangku ketika saya di
depan kelas. Mereka tidak menyadari kesalahan yang telah diperbuat.
Mengapa karakter sopan santun anak semakin
terkikis. Mereka sulit diatur. Apakah masa pembelajaran pandemi menyisakan
kebiasaan baru. Mereka yang terbiasa belajar berbasis digital. Tanpa ada pesan
moral secara langsung dari guru. Diberlakukannya pembatasan keluar rumahpun
bisa menjadikan anak menghabiskan waktunya untuk berkencan dengan gadget. Hal ini sulit dikontrol orang tua. Mereka sesukanya berselancar di dunia maya yang tiada batas.
Dari kasus di atas lantas apa yang dilakukan guru ?
a. Menjadi Pendengar
yang Baik
Cara menghadapi anak remaja yang keras kepala
dan pemarah tidak boleh dengan cara yang keras atau marah-marah. Justru pada
saat seperti ini Guru harus menjaga perasaan supaya tetap tenang dan tidak
terbawa emosi. Banyak kasus kenakalan siswa di kelas terjadi hanya karena siswa
tersebut ingin mendapat perhatian.
b.
Personal Approach
Guru Pintar merupakan garda terdepan yang
selalu berhubungan dan berinteraksi dengan para siswa. Hal ini membuat Guru harus
memiliki kemampuan membaca atau mengidentifikasi tanda-tanda yang ditunjukkan
siswa di kelas. Guru juga harus mampu menangkap
hal-hal luar biasa yang ditunjukkan dari gelagat atau tindak tanduk siswa
selama berada di sekolah. Siswa yang dianggap nakal, bandel, atau bermasalah
sebenarnya memiliki masalah di rumah, lingkungan, dan sekitarnya yang tidak
dapat mereka selesaikan.
c.
Kolaborasi dan Koordinasi
Seringkali informasi dari siswa yang
bermasalah ini tidak cukup dijadikan pijakan untuk mencari jalan keluar. Guru terkadang harus menggali informasi tidak hanya
dengan guru lain yang mengajar siswa tersebut, tetapi juga dari teman dan orang
tua juga. Hal ini sedikit riskan karena jangan sampai siswa yang sedang kita
tangani merasa aibnya diumbar dan ia menjadi menarik diri karena kehilangan
kepercayaan pada Guru .
d.
Cara Menegur atau Menasehati
Anak yang suka melawan orang tua biasanya
terbawa sampai ke sekolah. Dari banyak kasus seperti ini diketahui siswa-siswa
suka yang memberontak biasanya ingin diperhatikan atau menyembunyikan
perasaan insecure karena diremehkan atau merasa dipandang
sebelah mata.
Cara menasehati anak yang keras kepala tidak
boleh membuat anak merasa makin terpojok. Lakukan dengan lemah lembut dan
tunjukkan bahwa Guru mengakui keberadaan dan menghargai mereka. Beri kesan
tegas bukan galak. Sampaikan dengan kalimat-kalimat positif dan tunjukkan bahwa
Guru tidak melabeli mereka sebagai anak bandel/nakal. Gunakan sudut pandang
siswa dalam melihat permasalahan. Kalau perlu beritahu siswa bahwa Guru mengerti
apa yang mereka rasakan karena juga pernah mengalami masa remaja. Berikan
contoh cara menghormati guru di sekolah, teman-teman, dan juga orang tua di
rumah. Diharapkan siswa akan merasa tersentuh secara perlahan akan
memahami bagaimana harus bersikap terhadap orang-orang di sekelilingnya.
e.
Beri Kepercayaan
Cara lain untuk dapat mengatasi anak yang
ngeyel, suka melawan adalah dengan memberikan siswa tersebut sebuah tanggung
jawab dan tunjukkan bahwa Guru percaya padanya. Bentuk tanggungjawab yang
diberikan tidak harus dalam bentuk menjadi ketua kelas. Guru dapat memulai dari
hal-hal kecil seperti meminta bantuannya membawakan buku-buku ke ruang guru,
menjadikan ia pemimpin dalam kelompok, dan sebagainya. Jangan lupa memberikan
apresiasi atau pujian ketika ia melakukan tanggung jawabnya dengan baik, dan
memberikan motivasi ketika mengalami kesulitan.
Hal-hal seperti ini akan membuat mereka merasa
lebih percaya diri. Kebutuhan mereka akan pengakuan akan eksistensi juga akan
terpenuhi sehingga siswa tidak perlu mencari bentuk-bentuk perhatian dengan
cara-cara yang kurang baik.
(https://akupintar.id/info-pintar/-/blogs/cara-mengatasi-siswa-yang-suka-melawan-di-kelas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar