Belum
lama mentari singgah di peraduan. Aku mengambil poselku yang tergeletak ber jam-jam
di atas meja. Kubuka whatshapp, barang kali ada pesan penting dari kerabat atau
teman di group. Tak kusangka wapri dari seorang maestro literasi. Beliau
mengirim foto dashboard mobil yang sedang dalam perjalanan. Dibawah foto
dicantumkan caption “Selopuro”. Sontak aku terperanjat. Maestro literasi yang tak lain prof Much
Khoiri melewati tanah kelahiranku. Jemariku tergerak menulis di ponsel untuk menanyakan
dimana posisi beliau saat itu. tak lama chat yang kukirim direspon olehnya.
Beliau menyatakan “baru tiba di Bacem”.
Bacem adalah nama desa tempat tinggal orang tua professor khoiri. Di sanalah
beliau dibesarkan.
Via
whatsapp Aku memberanikan diri menawarkan beliau untuk singgah barang sebentar
di rumahku. Tapi beliau memberikan respon bahwa malam ini hanya untuk kangen
kangenan dengan bapak ibu serta berkisah banyak hal. Aku paham, kehadiran
beliau yang hanya semalam itu benar benar dimanfaatkan untuk pelipur lara dan melepas rindu dengan
orang tua. Hal ini menimbulkan rasa keinginanku untuk menemui beliau di rumahnya. Aku chat prof khoiri bahwa selepas isya’ aku dan suami mau
“sowan” ke rumah. Aku lanjut menanyakan alamat kediaman orang tuanya. Tak lama
berselang Prof Khoiri share lokasi. Beliau
juga menulis chat “Jika repot tidak usah
memaksakan diri untuk ke rumah”. Bagiku perkara
repot bisa diatur. Kali ini aku harus bisa bertemu beliau karena sudah puluhan tahun
tidak pernah berjumpa di dunia nyata. Karena pertemuanku selama
ini sebatas tatap maya.
Usai
shalat isyak aku bersama suami bergegas meluncur menuju rumah kediaman orang
tua Prof Khoiri. Perjalanan menuju di kediaman orang tuan Prof Khoiri hanya membutuhkan waktu 15 menit. Tetiba di sana diantara remang malam kelihatan paras laki-laki berpakaian
koko putih, songkok putih, sedang menikmati kesejukan udara malam. Aku berpikir
orang itu adalah Prof Khoiri. Ternyata benar. Beliau Prof Khoiri yang pernah kukenal sejak
kami sama sama bersekolah di SMP dan SMA. Begitu
aku melihat beliau, kami segera memarkir mobil. Beliau pun langsung turun ke jalan untuk membantu memarkir mobil agar tidak mengganggu lalu lintas.
Seraya
turun dari mobil, beliau menjabat tanganku. Rasa terharu menyerang batinku. Aku
hanya bisa berjabat tangan doang. Seandainya Prof Khoiri kaum hawa pastilah
akan kupeluk dan kudekap erat erat. Cipika cipiki pastilah. Rasa bahagia yang
kurasakan hanya bisa kulahirkan dalam kata kata. Adegan ini benar benar bak
sebuah mimpi. Betapa tidak. Kami mulai berpisah tahun 1985. Aku kuliah di IKIP Malang beliau di IKIP Surabaya
yang sekarang disebut UNESA. Sejak saat itu aku tidak pernah bertemu. Kalau
dihitung sekitar 36 tahun. Hanya dunia maya yang menyatukan kami. 36 tahun tidak menghilangkan ingatanku dari sifat humble,
humoris dan bijak yang dimilikinya. Karakter itu masih terawat hingga kini. Membuat
semua orang yang ada di lingkungan nya merasa nyaman dan terhibur.
Sampai
di ruang tamu, aku perhatikan beliau. Ada yang beda banget dengan dulu. Apa
itu?. kondisi fisik yang tumbuh subur melebar 360 derajat. Tak ada kerangka
tulang yang tampak. Semuanya berisi daging. Waooo. Badan kurus rambut hitam
belah tengah telah hilang. Apapun
kondisi beliau yang penting sehat dan bahagia. sudahlah kuabaikan persoalan
ini. Kini mari kita beralih dengan apa isi percakapanku dengan beliau yang
disaksikan oleh suamiku.
Percakapan kami di ruang tamu, dibuka oleh ayahnda Prof Khoiri. Beliau berkisah tentang teman teman di masa mudanya. Menarik juga didengarkan. Namun itu tidak berlangsung lama. Beliau segera membalikkan badan meninggalkan kami. Percakapanpun dilanjutkan oleh Prof Khoiri sebgai tuan rumah. percakapan diawali menanyakan perihal keluarga, dan teman teman sekolah, mereka bekerja apa, tinggal dimana et ce ra. Di sela sela percakapan muncul gadis cantik dengan membawa baki yang berisi teh panas dan tradisonal craker alias rangginan kesukaanku. Gadis cantik itu putrinya Prof Khoiri.
Hari semakin malam aku masih asik mendengar suara empuk Prof Khoiri dalam menyampaikan tentang pengalaman berteman dengan anggota RVL, menjadi juri dalam
apresiasi buku fiksi tingkat Provinsi Jawa Timur. Dan berbagai pesan bagaimana untuk
menjadi penulis top. Bak gayung
bersambut, aku yang selama ini miskin ilmu menulis. Serasa terbangun dari
tidur. Minat untuk menekuni dunia menulis tumbuh. Banyak nutrisi yang aku peroleh pada kopdar dadakan
ini. Pesan pesan yang disampaikan beliau selevel dengan materi yang ditayangkan
di Zoom meeting. Padat berisi.
Beliau menyampaikan
menulis adalah pekerjaan membaca. Sebagian orang mengisyaratkan menulis berbanding lurus dengan kegiatan
membaca. Hal ini jelas menambah perbendaharaan kata bagi si pembaca. Bagaimana
mungkin seorang yang ingin jadi penulis hebat tapi kurang membaca. Padahal,
untuk menjadi penulis diperlukan keahlian memilih dan memadu kata agar
terangkai menjadi sebuah kalimat yang mudah dipahami.
Tak terasa kopdarku terhitung 90 menit. Aku segera mohon diri. khawatirnya mengganggu istirahat Prof Khoiri. sebelum kakiku melangkah lebih jauh, Prof Khoiri menyampaikan bahwa menulis itu dianalogikan sebagai ilmu tasawuf dalam islam. yang pada tahapanya dibagi menjadi 4, yaitu mulai
dari syariat,
tarekat, hakikat dan makrifat. Jika empat tahapan ini bisa dilalui maka
tahapan menulis bisa mencapai puncak terbaik. Mulai
memahami kaidah menulis atau tahu aturan
menulis yang benar, bagaimana cara menulis yang baik sampai paham apa yang ditulis. Terus terang aku terkesima kata bijak yang menguatkan aku untuk melanjutkan perjalanan berliterasi
yaitu ungkapan Prof Khoiri yang bunyinya “Pada
saatnya penjenengan akan Top. Ikuti saya ya “
Akhir kata semoga kopdar dadakan ini bisa menjadi virus yang menyebarkan aroma buku baru yang berbobot.