Minggu, 26 Juni 2022

 

TERJEBAK CORONA

              Jalanan  lengang, satu dua orang melangkah saling mengulur jarak, masker menutup separoh wajah merupakan pemandangan lumrah diera kehidupan normal baru. Hembus anginpun seakan berbisa. Namun tidak menyurutkan aku untuk tetap melaksanakan tugas negara dalam mengawasi ujian satuan pendidikan di sekolah menengah kejuruan tempat aku bekerja.

            Kerja di sekolah merupaka pelepas rindu dengan teman kerja dan murid meski hanya beberapa personil. Pembatasan Kegiatan Masyarakat terus diberlakukan  d  Aktivitas mlai pagi hingga petang biasa aku lakukan dengan penuh semangat.  mengisi aktivitas sehari hari tak pernah padam. Rasa senang  saya ciptakan dalam mengisi hari hariku. Namun diakhir minggu bulan maret  serasa  flu menyerangku. Badan meriang, tidak ada gairah melakukan aktivitas, raga terasa loyo. Seperti biasa untuk meringankan gejala saya minum Paracetamol.

            tiga hari aku minum paracetamol gejala flu yang kurasakan berangsur hilang. Makan, minum, tidur masih normal. Hari kelima, aku merasa ada yang aneh dalam ragaku  mata enggan terpejam, perut enggan diisi. Pikiran tidak fokus, melayang entah apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak paham dengan diriku. Setiap hari rasa itu bergelut dengan Rasa itu. Aku tetap bertahan untuk meraih gairah hidupku yang hilang. Ku cari kemana ceriaku, kemana rasa kantukku, kemana rasa semangatku. Kusingkap lewat asa ku yang sudah membuncah. Sedari pagi hingga malam. Aku terus berjalan sesuai arus kehidupan normal. Selagi pagi aku beraktivitas sebagai seorang ibu yang harus menyiapkan sarapan untuk keluarga, selepas pagi aku bekerja  bersama teman sejawatku. Dalam senyumku dalam tawaku dalam candaku aku sembunyikan rasa  gelisahku

tak satupun teman sejawatku yang mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi di raga dan di pikiranku. Semua kubalut dengan keceriaan.

            Disaat kembali kerumah. Kegelisahan kembali merundungku hingga suatu malam  ketika  jarum jam menunjuk ke angka 14.00 mata ku tetap bening,  pikiranku mengembara  tidak ada ujung pangkalnya. Aku berusaha  mengalihkan kekalutanku dengan mendengarkan musik yang bersumber dari lap top anak bungsuku yang sedang mengerjakan tugas kuliah dikamarnya.

“Kenapa ibu belum tidur...temani aku belajar saja!” tawaran putriku.

Tanpa aku jawab, langsung kurebahkan badanku ditempat tidur samping  meja belajar anakku. Sayup sayup aku mendengar lagu “Melukis Senja” yang dilantunkan Budi Do Remi.  lirih lembut menenangkan pikiranku.  Mata beningku terlena, dalam  hitungan detik lagu itu mampu menina bobokan diriku. Aku bisa menikmati rasa kantuk. Aku tidak mendengarkan lagu itu setelah bait kedua,

Aku mengerti
Perjalanan hidup yang kini kau lalui
Ku berharap
Meski berat, kau tak merasa sendiri

Kau t'lah berjuang
Menaklukkan hari-harimu yang tak mudah
Biar ku menemanimu
Membasuh lelahmu

Saat mataku terpejam aku tidak merasakan sedang  tidur. Diriku hanya pindah dialam mimpi. Seakan aku berjalan di hamparan padang rumput sendirian disana aku tidak menemukan siapa siapa hanya hembusan angin lembut yang membuat aku terlena, rasa lemas dan  gamang, membalut diriku. diantara kegamangan itu tiba tiba  Pundakku terasa berat, ada anak kecil yang minta gendong menggelayut  tidak  mau turun, aku menolak , aku melawan anak kecil yang tidak mau  turun dari gendonganku. Aku berjalan sangat jauh. Berat rasanya. Bersamaan  dengan itu kurasakan ada sentuhan lembut. Sontak aku terbangun. Ternyata tangan  putriku sedang  memiringkan posisi kepalaku.

“ Dengkuran ibu sangat keras, tidur ibu pulas ya”.  putriku berkata dengan penuh harap

“Aku menyangkal,  Aku belum tidur”  Jawabku

Anakku tertawa  cekikikan....”sudah mendengkur  sekitar 5 menit. Kok belum tidur”

Aku abaikan celoteh putriku, aku pindah berbaring di sofa  yang ada di ruang tamu. Aku benar benar terperangkap dalam kegelisahan yang tak berujung. Aku berjuang menepiskannya tapi aku tidak bisa. Di sofa aku tetap tidak bisa tidur. Lantas kuraih buku karangan Andrea Hirata yang berjudul Edensor di atas meja sampingku. Aku baca tanpa ada rasa membaca pikiranku gamang. Aku tetap berjuang lagi melawan Rasa itu.

            Aku beranjak dari sofa menuju kamar mandi. Kubuka kran air di luar kamar mandi untuk wudhu, lalu aku ambil kitab suci Al-Qur’an. Aku baca ayat demi ayat. Itupun tidak ada rasa membaca. Aku tidak bisa menghayati apa yang aku baca. Aku letakkan kitab suciku. Aku kembali ketempat tidurku di samping suamiku yang  sebenarnya merasakan meriang, lemes dan pegel di tulang belulangnya.

            Kupandangi lingkungan sekelilingku  dengan samar. Gamang, bimbang,  nalar melayang membubung tinggi. Hela nafaspun tidak beraturan, gelisah mendekap perasaan yang tak berujung, jiwapun tidak tenang Hampa, Kosong mencekeram kedalam jiwa, hati kacau jiwa berserakan, seakan ingin berontak terbebaskan dari kegamangan kebimbangan dan kegelisahan yang setiap malam menghantui diriku.

Bibirkupun terus berucap zikir walau tidak ada penghayatan. Aku tidak tahu harus bagaimana. Hanya satu pilihan aku harus selalu mengingat kepada Lillah aku minta perlindungan dan dekapan kasihnya. Sampai pagi serasa hanya menggantang angin. Perjuanganku sia sia. Rasa gelisah, hampa dan gamang tidak mau meninggalkanku. Namun rasa itu menepis disaat aku tenggelam dalam kesibukan disiang hari.

            Menjelang hari ke sembilan gamangku berangsur menghilang. Raga dan jiwaku kembali normal. Atas KehendakNYA ini bisa terjadi. Kun fayakun. Kalau Allah berkendak maka terjadilah apa yang DIA kehendaki.  Gamang sudah menghilang dengan sendirinya. Aku lebih semangat dalam menjalani aktivitas dalam hidupku.

            Menjelang dhuhur sepulang dari sekolah. Aku menemui suamiku yang duduk di ruang tamu dengan membawa selembar kertas. Seraya menyodorkan kepadaku. “ aku tadi baru saja tes swab Antigen”, suamiku bilang ke aku, seraya minta maaf karena tidak izin aku sebelumnya.

“Kenapa tes antigen”, aku menyahutnya.

“Aku merasakan tidak enak badan, ada yang tidak biasa saya rasakan ditubuhku. Sekarang masa pandemi jadi aku beranikan diri untuk swab “. Suamiku menjelaskan. Selembar kertas yang ada ditangan suamiku aku ambil dan aku baca. Tidak ada angin tidak ada badai. Aku terperanjat yang luar biasa. Ternyata suamiku terifeksi covid 19. Sehari sesudah tes antigen  suami saya di chat via whatsapp oleh bidan desa dari puskesmas  meminta kepada suami dan saya  untuk melakukan tes swab PCR esok harinya. Terus terang saya berjuang menepiskan rasa takut. Saya terus istighfar memohon ketenangan kepada Allah. Selang satu hari hasil swab PCR keluar  kami berdua dinyatakan positif. Kami harus menjalani isolasi selama 10 hari di rumah sakit Lapangan. Kami syok sesaat. Ini adalah ujian yang harus kami jalani, kami mengumpulkan semangat untuk menghilangkan rasa takut yang telah menyelimuti kami. Kembali kami menghela  nafas panjang, kami diam sejenak, sesaat kemudian Alhamdulillah kami bisa mengumpulkan semangat untuk lebih tenang.

Pada hari yang sudah ditentukan, kami menjalani isolalasi. Perjalanan menuju rumah sakit Lapangan  hujan deras mengguyur ambulan yang meluncur ke sana Sejujurnya saya sudah tidak  merasakan sakit. Saya sehat. Karena imunitas saya kurang bagus maka fragmen virus masih terbaca oleh PCR. Saya sudah selesai sakit. Hanya suami yang masih lemas. Disana aku lebih paham tentang apa sih covid 19 itu. Aku pun sekarang tahu. Kegelisahan dan rasa gamang yang pernah saya rasakan itu sebenarnya disebabkan oleh saturasi oksigen yang rendah.

            Sebenarnya saya sudah menjalankan semua protol kesehatan, saya juga olahraga, saya juga minum vitamin Tiba-tiba saya terinfeksi COVID-19. Sayapun kaget mengapa saya menjadi orang yang terpilih.

            Aku harus mengubur pikiran negatif tentang anugerah sakit ini. Karena Justru pada saat inilah banyak kesempatan untuk belajar hidup apa adanya dan belajar mendekat pada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

REFLEKSI HOBBY PUTRA PUTRI KELAS XII TKJB