TERJEBAK CORONA
Jalanan
lengang, satu dua orang melangkah saling
mengulur jarak, masker menutup separoh wajah merupakan pemandangan lumrah diera
kehidupan normal baru. Hembus anginpun seakan berbisa. Namun tidak menyurutkan
aku untuk tetap melaksanakan tugas negara dalam mengawasi ujian satuan
pendidikan di sekolah menengah kejuruan tempat aku bekerja.
Kerja di sekolah merupaka pelepas
rindu dengan teman kerja dan murid meski hanya beberapa personil. Pembatasan
Kegiatan Masyarakat terus diberlakukan d
Aktivitas mlai pagi hingga petang biasa
aku lakukan dengan penuh semangat. mengisi
aktivitas sehari hari tak pernah padam. Rasa senang saya ciptakan dalam mengisi hari hariku. Namun
diakhir minggu bulan maret serasa flu menyerangku. Badan meriang, tidak ada
gairah melakukan aktivitas, raga terasa loyo. Seperti biasa untuk meringankan
gejala saya minum Paracetamol.
tiga hari aku minum paracetamol gejala
flu yang kurasakan berangsur hilang. Makan, minum, tidur masih normal. Hari
kelima, aku merasa ada yang aneh dalam ragaku
mata enggan terpejam, perut enggan diisi. Pikiran tidak fokus, melayang
entah apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak paham dengan diriku. Setiap hari
rasa itu bergelut dengan Rasa itu. Aku tetap bertahan untuk meraih gairah
hidupku yang hilang. Ku cari kemana ceriaku, kemana rasa kantukku, kemana rasa
semangatku. Kusingkap lewat asa ku yang sudah membuncah. Sedari pagi hingga
malam. Aku terus berjalan sesuai arus kehidupan normal. Selagi pagi aku beraktivitas
sebagai seorang ibu yang harus menyiapkan sarapan untuk keluarga, selepas pagi
aku bekerja bersama teman sejawatku.
Dalam senyumku dalam tawaku dalam candaku aku sembunyikan rasa gelisahku
tak
satupun teman sejawatku yang mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi di
raga dan di pikiranku. Semua kubalut dengan keceriaan.
Disaat kembali kerumah. Kegelisahan kembali
merundungku hingga suatu malam ketika jarum jam menunjuk ke angka 14.00 mata ku tetap
bening, pikiranku mengembara tidak ada ujung pangkalnya. Aku berusaha mengalihkan kekalutanku dengan mendengarkan
musik yang bersumber dari lap top anak bungsuku yang sedang mengerjakan tugas
kuliah dikamarnya.
“Kenapa
ibu belum tidur...temani aku belajar saja!” tawaran putriku.
Tanpa
aku jawab, langsung kurebahkan badanku ditempat tidur samping meja belajar anakku. Sayup sayup aku
mendengar lagu “Melukis Senja” yang dilantunkan Budi Do Remi. lirih lembut menenangkan pikiranku. Mata beningku terlena, dalam hitungan detik lagu itu mampu menina bobokan
diriku. Aku bisa menikmati rasa kantuk. Aku tidak mendengarkan lagu itu setelah
bait kedua,
Aku mengerti
Perjalanan hidup yang kini kau lalui
Ku berharap
Meski berat, kau tak merasa sendiri
Kau t'lah berjuang
Menaklukkan hari-harimu yang tak mudah
Biar ku menemanimu
Membasuh lelahmu
Saat
mataku terpejam aku tidak merasakan sedang
tidur. Diriku hanya pindah dialam mimpi. Seakan aku berjalan di hamparan
padang rumput sendirian disana aku tidak menemukan siapa siapa hanya hembusan
angin lembut yang membuat aku terlena, rasa lemas dan gamang, membalut diriku. diantara kegamangan itu
tiba tiba Pundakku terasa berat, ada
anak kecil yang minta gendong menggelayut tidak
mau turun, aku menolak , aku melawan anak kecil yang tidak mau turun dari gendonganku. Aku berjalan sangat
jauh. Berat rasanya. Bersamaan dengan
itu kurasakan ada sentuhan lembut. Sontak aku terbangun. Ternyata tangan putriku sedang memiringkan posisi kepalaku.
“
Dengkuran ibu sangat keras, tidur ibu pulas ya”. putriku berkata dengan penuh harap
“Aku
menyangkal, Aku belum tidur” Jawabku
Anakku
tertawa cekikikan....”sudah
mendengkur sekitar 5 menit. Kok belum
tidur”
Aku
abaikan celoteh putriku, aku pindah berbaring di sofa yang ada di ruang tamu. Aku benar benar
terperangkap dalam kegelisahan yang tak berujung. Aku berjuang menepiskannya
tapi aku tidak bisa. Di sofa aku tetap tidak bisa tidur. Lantas kuraih buku
karangan Andrea Hirata yang berjudul Edensor di atas meja sampingku. Aku baca
tanpa ada rasa membaca pikiranku gamang. Aku tetap berjuang lagi melawan Rasa
itu.
Aku beranjak dari sofa menuju kamar
mandi. Kubuka kran air di luar kamar mandi untuk wudhu, lalu aku ambil kitab
suci Al-Qur’an. Aku baca ayat demi ayat. Itupun tidak ada rasa membaca. Aku
tidak bisa menghayati apa yang aku baca. Aku letakkan kitab suciku. Aku kembali
ketempat tidurku di samping suamiku yang sebenarnya merasakan meriang, lemes dan pegel
di tulang belulangnya.
Kupandangi lingkungan
sekelilingku dengan samar. Gamang,
bimbang, nalar melayang membubung
tinggi. Hela nafaspun tidak beraturan, gelisah mendekap perasaan yang tak
berujung, jiwapun tidak tenang Hampa, Kosong mencekeram kedalam jiwa, hati
kacau jiwa berserakan, seakan ingin berontak terbebaskan dari kegamangan
kebimbangan dan kegelisahan yang setiap malam menghantui diriku.
Bibirkupun
terus berucap zikir walau tidak ada penghayatan. Aku tidak tahu harus
bagaimana. Hanya satu pilihan aku harus selalu mengingat kepada Lillah aku
minta perlindungan dan dekapan kasihnya. Sampai pagi serasa hanya menggantang
angin. Perjuanganku sia sia. Rasa gelisah, hampa dan gamang tidak mau meninggalkanku.
Namun rasa itu menepis disaat aku tenggelam dalam kesibukan disiang hari.
Menjelang hari ke sembilan gamangku berangsur
menghilang. Raga dan jiwaku kembali normal. Atas KehendakNYA ini bisa terjadi.
Kun fayakun. Kalau Allah berkendak maka terjadilah apa yang DIA kehendaki. Gamang sudah menghilang dengan sendirinya.
Aku lebih semangat dalam menjalani aktivitas dalam hidupku.
Menjelang dhuhur sepulang dari
sekolah. Aku menemui suamiku yang duduk di ruang tamu dengan membawa selembar
kertas. Seraya menyodorkan kepadaku. “ aku tadi baru saja tes swab Antigen”,
suamiku bilang ke aku, seraya minta maaf karena tidak izin aku sebelumnya.
“Kenapa
tes antigen”, aku menyahutnya.
“Aku
merasakan tidak enak badan, ada yang tidak biasa saya rasakan ditubuhku.
Sekarang masa pandemi jadi aku beranikan diri untuk swab “. Suamiku
menjelaskan. Selembar kertas yang ada ditangan suamiku aku ambil dan aku baca.
Tidak ada angin tidak ada badai. Aku terperanjat yang luar biasa. Ternyata
suamiku terifeksi covid 19. Sehari sesudah tes antigen suami saya di chat via whatsapp oleh
bidan desa dari puskesmas meminta kepada suami dan saya untuk
melakukan tes swab PCR esok harinya. Terus terang saya berjuang menepiskan rasa
takut. Saya terus istighfar memohon ketenangan kepada Allah. Selang satu hari hasil
swab PCR keluar kami berdua dinyatakan
positif. Kami harus menjalani isolasi selama 10 hari di rumah sakit Lapangan. Kami
syok sesaat. Ini adalah ujian yang harus kami jalani, kami mengumpulkan
semangat untuk menghilangkan rasa takut yang telah menyelimuti kami. Kembali
kami menghela nafas panjang, kami diam sejenak, sesaat kemudian
Alhamdulillah kami bisa mengumpulkan semangat untuk lebih tenang.
Pada hari yang sudah ditentukan, kami menjalani isolalasi.
Perjalanan menuju rumah sakit Lapangan hujan deras mengguyur ambulan yang meluncur ke
sana Sejujurnya saya sudah tidak
merasakan sakit. Saya sehat. Karena imunitas saya kurang bagus maka
fragmen virus masih terbaca oleh PCR. Saya sudah selesai sakit. Hanya suami
yang masih lemas. Disana aku lebih paham tentang apa sih covid 19 itu. Aku pun
sekarang tahu. Kegelisahan dan rasa gamang yang pernah saya rasakan itu
sebenarnya disebabkan oleh saturasi oksigen yang rendah.
Sebenarnya saya
sudah menjalankan semua protol kesehatan, saya juga olahraga, saya juga minum
vitamin Tiba-tiba saya terinfeksi COVID-19. Sayapun kaget mengapa saya menjadi
orang yang terpilih.
Aku harus
mengubur pikiran negatif tentang anugerah sakit ini. Karena Justru
pada saat inilah banyak kesempatan untuk belajar hidup apa adanya dan belajar mendekat
pada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar